Lasadindi, Tokoh Islam Penuh Mitos di Tanah Kaili

 

 Selain Sayyid Idrus bin Salim Aljufrie dan Dato Karama, ada juga tokoh Islam yang begitu disegani di tanah Kaili. Beliau adalah ulama Islam yang dikenal karena mitos masyarakat yang mengatakan bahwa ia memiliki kesaktian. Tokoh tersebut adalah Lasadindi. Ia tidak hanya dikenal sebagai ulama tetapi juga sebagai bangsawan Kaili, juga tokoh Partai Sarikat Islam yang berpengaruh ketika itu di Sulawesi Tengah. Lasadindi dikenal sebagai ulama penuh mitos. Banyak orang mengatakan bahwa Lasadindi memiliki karamah.

Keadaan tersebut tidak terlepas dari banyaknya mitos yang melekat dalam dirinya. Masyarakat tanah Kaili sudah mengenal sosok Lasadindi sebagai manusia biasa yang memiliki keistimewaan yang tinggi. Lasadindi lahir di Enu, Kecamatan Sindue, Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah. Tidak diketahui tahun pasti kelahirannya. Akan tetapi, sosok Lasadindi dikenal sebagai orang yang hidup dalam empat zaman, yakni masa sebelum Belanda berkuasa di Sindue, pada saat Belanda berkuasa, pendudukan Jepang, dan pada masa kemerdekaan.

Keluarga Lasadindi berasal dari kalangan bangsawan Sindue yang tidak bermahkota. Beliau adalah anak dari Yandara atau Rapotango. Penamanaan Rapotango berasal dari ungkapan bahasa setempat yang berarti orang yang mengetahui rahasia tanah. Sementara ibu dari Lasadindi bernama Daelino. Ayah Lasadindi yang bernama Rapotango sendiri merupakan anak kedua dari Pue Kaloro (suami) dan Yapa (istri). Pue Kaloro sendiri juga dikenal dengan sebutan Pue Nteke yang merupakan cicit dari Lamagau, Raja Sindue ketika itu. Silsilah inilah yang kemudian menjadikan Lasadindi dikenal sebagai seorang bangsawan. Tidak heran pula jika sosok Lasadindi sangat dihormati dan kata-katanya didengar. Hal ihwal tentang keturunan bangsawan yang tak bermahkota terjadi di zaman pemerintah Lamagau.

Lasadindi merupakan keturunan bangsawan Sindue yang pernah memerintah di Kerajaan Sindue. Ketika itu kedudukan kerajaan Sindue terletak di Enu, sebuah kampung daerah pantai barat Sulawesi Tengah. Setelah Raja Lamagau memerintah maka kedudukan kerajaan tersebut dipindahkan. Karena pemindahan inilah maka mahkota kerajaan pun tidak lagi dimiliki oleh Madika Lusu Manuru atau Pue Mpevonju, ayah dari Pue Nteke atau kakek dari Lasadindi.

Lasadindi diketahui menikah sampai beberapa kali. Ada yang mengatakan delapan kali, ada juga yang menyatakan sepuluh kali. Namun dari keterangan yang ada disebutkan bahwa ia pernah menikah di kampung Bora, wilayah kerajaan Sigi. Juga memiliki istri di kampung Marana, Silanga (daerah pantai timur Sulawesi Tengah), kampung Tipo yang letaknya tidak jauh dari kota Palu. Selain itu, Lasadindi juga menikahi seorang perempuan di Wani. Sementara itu, pada masa pendudukan Jepang ia juga menikah di Alindau. Dan yang terakhir, ia juga menikah di kampung Randomayang. Dari beberapa istrinya, hanya dua orang yang diketahui namanya, yakni Kaeria dan Andi Hawa.

Boleh dikata bahwa istri dari Lasadindi hampir tersebar di sebagian besar tanah Kaili. Sosok Lasadindi yang berasal dari kalangan bangsawan, juga penganjur Islam membuatnya dikenal sebagai orang keramat. Bagi daerah yang pernah dikunjungi dalam menyiarkan Islam, sosoknya sangat dikultuskan oleh masyarakat setempat. Di setiap kampung tempatnya pernah bermukim, keberadaan Lasadindi selalu menjadi mitos yang beredar dari mulut ke mulut orang setempat. Bahkan hingga saat ini, Lasadindi adalah tokoh Islam yang terkenal karena pandangan masyarakat yang memitoskan dirinya. Mitos di kalangan masyarakat tidak muncul begitu saja. Sejak kecil Lasadindi sudah menampakkan sifat kepemimpinan dan kekeramatan yang tersemat dalam dirinya. Bahkan sampai dewasa pun sifat-sifat tersebut sering kali dilihat oleh orang-orang di sekitarnya.

Pernah suatu ketika, Lasadindi yang mengajarkan Islam sambil membuka lahan pertanian dan perkebunan di daerah pegunungan yang berbatasan dengan wilayah pantai timur, sering kali menghilang tanpa diketahui. Terkadang juga ia muncul dalam wajah yang berbeda dalam kesempatan lain. Terkadang kelihatan muda, kadang pula tampak lebih tua. Hal ini membuat masyarakat percaya bahwa Lasadindi dapat merubah wajahnya.

Sementara itu karakter kepemimpinannya terlihat di zaman pendudukan Jepang. Tampak ketika itu ia meminta kepada penduduk kampung Alindau yaitu orang Tajio untuk membuka jalan baru dari Alindau menuju daerah pertanian di atas gunung. Penduduk kampung pun mengerjakan perintah Lasadindi tanpa pengawasan darinya. Dalam waktu yang singkat jalan tersebut dapat diselesaikan dan akhirnya digunakan. Oleh Raja Sindue ketika itu, Lasadindi diberi gelar Maradika Ada Ntana atau orang yang mengurus masalah pertanian yang ada dalam wilayah Kerajaan Sindue.

Untuk memudahkan tugasnya maka Lasadindi sering berkunjung dari satu daerah ke daerah lainnya. Tak jarang dalam tugasnya, ia juga mendatangi daerah-daerah pegunungan. Itu dilakukan tak lain untuk mengajarkan tata cara bertani dan berkebun yang baik. Keberadaannya sebagai Maradika Ana Ntana sejalan dengan tugasnya sebagai penganjur Islam di wilayah Sindue. Dalam tugasnya itu, ia senantiasa mengajarkan pemikiran-pemikirannya tanpa harus bertentangan dengan adat istiadat. Karena ketika itu kepercayaan lama masih begitu kental di lingkungan masyarakat. Agar memudahkan syiar Islam maka cara dakwah Lasadindi dilakukan dengan menciptakan sebuah buku yang berisi ajaran-ajaran beliau. Buku tersebut dinamai dengan Pangaji Tonji.

Pada tahun 1908, Belanda berkuasa dan menjadikan wilayah Kerajaan Sindue sebagai salah satu distrik di Onderafdeling Donggala. Lasadindi menentang keras akan hal itu. Sebagai bentuk penolakan, Lasadindi menunda menyerahkan pembayaran pajak tanah kepada Raja Sindue. Akibat ulahnya ini, ia lalu dituduh sebagai pembangkang karena melawan pemerintah Belanda ketika itu. Namun, di sisi lainnya, upaya pembangkangan Lasadindi ternyata membuat dirinya semakin dikenal oleh masyarakat dan dakwahnya pun semakin luas.

Ketika Sarekat Islam (SI) masuk ke daerah Teluk Palu pada tahun 1916, Lasadindi pun turut serta menerima kehadiran organisasi tersebut. Masuknya Lasadindi untuk berserikat dalam organisasi itu membuat paham Sarekat Islam semakin dikenal. Lasadindi berhasil mengundang simpati masyarakat sehingga dalam waktu yang tidak lama keanggotaan Sarekat Islam semakin banyak. Faktor kharismatiknya ketokohan Lasadindi sebagai seorang ulama menjadi alasan begitu mudahnya masyarakat bersarekat dalam organisasi Sarekat Islam.

Perjuangan Lasadindi dalam bidang organisasi terus berlanjut hingga Sarekat Islam berubah nama menjadi Partai Sarikat Islam Indonesia atau disingkat PSII. Usaha Lasadindi dalam mengembangkan dakwahnya melalui PSII membuahkan hasil. Ia berhasil mengundang simpati masyarakat sehingga partai tersebut memenangkan pemilu pada tahun 1955. Di sela-sela aktivitasnya sebagai seorang penganjur Islam sekaligus aktif dalam organisasi, Lasadindi juga meluangkan waktunya untuk berkebun.        

Tidak banyak orang yang mengetahui bahwa berkebun adalah kegiatan yang rutin dilakukan olehnya. Sejak zaman kolonial, Lasadindi banyak meluangkan waktunya untuk berkebun. Salah satu lokasi berkebunnya berada di daerah Silumpa atau sekarang ini disebut Desa Tibo. Di tempat itu ia membangun sebuah pondok kecil. Ia pun menanam beberapa jenis tanaman seperti kelapa, umbi-umbian, dan lain sebagainya. Dengan berkebun, Lasadindi ingin memberi pesan kepada masyarakat bahwa dalam hidup jangan sampai melupakan peran tanah. Memanfaatkan dan mengolah tanah akan menjamin kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang. Dengan memperhatikan tanah maka sumber makanan pun akan terus ada. Tanah dan makanan adalah elemen penting yang menunjang kehidupan manusia. Itulah salah satu ajaran yang selalu beliau tanamkan dalam diri masyarakat.

Setelah kemerdekaan atau tahun 1952 terjadi penyerangan oleh gerombolan DI/TII di kampung Tosale. Aksi tersebut berasal dari Batalyon Momoc Merah pimpinan Muhammad Nur Rasyid. Akan tetapi, peristiwa pembakaran itu sendiri terjadi atas perintah Letnan Djuhan, salah satu orang kepercayaan Muhammad Nur Rasyid. Untuk melebarkan konsep DI/TII yang ingin membangun Negara Islam Indonesia maka Letnan Djuhan meminta Lasadindi untuk bergabung dalam gerakan mereka. Hal ini dilakukan mengingat sosok Lasadindi yang berpengaruh besar sehingga apabila bergabung akan memudahkan pemikiran Negara Islam Indonesia diterima oleh masyarakat.

Permintaan tersebut ditolak oleh Lasadindi karena tidak sesuai dengan keyakinannya. Setelah beberapa kali mengalami pemanggilan untuk ikut ke Randomayang, markas dari gerombolan tersebut, akhirnya Lasadindi pun ikut serta bersama satu regu pasukan DI/TII yang ditugaskan menjemputnya. Untuk mengelabui Lasadindi, pasukan tersebut menyampaikan bahwa Lasadindi diminta untuk menjadi guru spiritual di markas mereka. Akhirnya Lasadindi pun ikut ke Randomayang. Di sana ia menetap cukup lama. Bahkan ada anggapan bahwa ia bergabung dengan DI/TII di Randomayang. Akan tetapi, anggapan orang tersebut tentu tidak sejalan dengan keyakinannya yang menolak dengan keras keinginan dari DI/TII untuk mendirikan Negara Islam Indonesia.

Sekian lama tinggal di Randomayang, Lasadindi pun berkeinginan untuk kembali ke Enu, tempat asalnya. Namun keinginan tersebut sulit tercapai karena keadaan yang tidak memungkinkan. Saat itu terjadi konflik antara TNI dengan pasukan Momoc Merah. Akibat konflik tersebut maka Lasadindi pun memutuskan untuk tetap di Randomayang. Agaknya keputusan tersebut memang tepat karena kampung Randomayang menjadi tempat terakhir persinggahannya untuk berdakwah mengajarkan Islam. Ia meninggal dunia dalam usia 125 tahun dan dimakamkan oleh pengikutnya di Randomayang.

Sebagai tokoh Islam berpengaruh dalam kalangan masyarakat Kaili, Lasadindi pun diusulkan untuk mendapatkan gelar sebagai Pahlawan Nasional. Rencana pengusulan itu dilakukan oleh salah satu tokoh muda kota Palu, Muhammad J. Wartabone beserta beberapa akademisi Sejarah seperti Haliadi Sadi, P.Hd. Usulan tersebut kemudian ditindaklanjuti melalui surat Gubernur Sulawesi Tengah, Longki Djanggola bernomor 464.1/069/Dis.sos., tanggal 16 April 2019 yang ditujukan kepada Menteri sosial RI, perihal pengusulan Lasadindi menjadi Pahlawan Nasional. Hingga saat ini, pengusulan tersebut masih dalam proses. Harapan ke depannya adalah agar Lasadindi dapat dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional yang berasal dari Sulawesi Tengah dapat segera terwujud.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penggunaan Jalan, Jln., atau Jl. dalam Penulisan Surat

Soal Artikel, Kritik, dan Esai

Puisi Esai, Genre Baru dalam Kesusastraan Indonesia