Tangan Keras Seorang Guru



Aku teringat semasa sekolah dasar dulu. Kejadian itu saat aku duduk di kelas 5 SD. Masih terekam kuat persitiwa kala itu. 


Waktu pagi sudah menunjukkan pukul 7 lewat. Aku terburu-buru ke sekolah. Kakiku lebih cepat melangkah dari biasanya. 


Aku tiba di kelas dengan napas yang sedikit terengah-engah. Segera ku simpan tasku di atas meja. Ku lihat sudah banyak teman hadir di pagi itu. 


"Ah... Semoga waktunya masih cukup,"  aku menggumam membatin. 


Segera ku keluarkan buku dan pena dari dalam tasku. Aku bergegas menuju kerumunan teman-temanku. 


"Eh... saya juga ya..." kataku.

"Yang sabar dong... Gantian satu-satu," ujar Rizal.


Aku yang datang lambat dibanding temanku lainnya memilih mundur sejenak. Ku biarkan teman-teman lainnya selesai. Jika sudah, baru giliranku. 


Saat tiba giliranku, bel masuk sudah berbunyi. Aku pun cepat-cepat menulis. Segala yang ada dihadapanku lekas ku pindahkan dalam buku. Keringat mulai turun satu-satu dari keningku. 


"Wah banyak juga ternyata," kataku. 


Sementara teman-teman yang lain bersiap memulai pembelajaran, aku masih berkutat dengan kesibukanku. 


Tanpa sadar Ibu Sunarti sudah berada di kelas. Saat teman yang lain memberi salam kepada guru, aku masih asyik menulis di lembar buku. 


Sesaat kemudian, Ibu Sunarti memanggilku. Wajahnya tampak pedas. Ia tidak suka melihat kelakuanku. 


"Apa ini?" Ia bertanya tegas. 


Aku menunduk. Aku tersadar sudah melakukan kesalahan.


"Kenapa baru mengerjakan sekarang? Bukannya ini PR untuk kamu kerja di rumah?" tanya beliau dengan sengit. 


"Iya, Bu..." jawabku singkat. Sepertinya ia tidak suka dengan jawabanku.


PLAKKKKK...


Kibasan tangan melayang ke pipi kiriku. Panas dan perih kurasa seketika. 


"Saya tidak mau lihat lagi kamu seperti ini. Yang namanya PR kerjakan di rumah," kata ibu Sunarti dengan pandangan marah. 


Aku tidak kuat melihat tatapan matanya. Begitu kuat menembus pertahanan mentalku. Aku menahan air mata agar tidak keluar. Aku malu. 


Kejadian itu masih terus membekas sampai saat ini. Untuk anak usia kelas 5 sekolah dasar, dilihat dengan tatapan mata tajam sudah bikin nyali menjadi ciut, apalagi harus merasakan tamparan sekeras itu. 


Tapi berkat "tamparan keras" itu, aku mendapat pembelajaran berharga dalam hidup, sepanjang hayat. Andai saja peristiwa itu tidak terjadi, aku tidak akan pernah belajar bahwa kesalahan harus dibayar dengan cara yang keras. Andai itu tidak pernah terjadi, aku pasti akan terus menormalisasi kesalahan-kesalahan yang aku perbuat. 


Bagaimana seandainya ketika itu aku sakit hati? Padahal keberkahan ilmu ada di tangan guru, dan aku pun baru menyadari jauh setelah peristiwa itu. Seandainya aku masih sakit hati hingga saat ini, keberkahan hidup tentu tidak akan kurasakan sekarang. 


Dari peristiwa itu aku percaya bahwa tangan seorang guru, meskipun keras, membawa keberkahan bagi muridnya selamanya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penggunaan Jalan, Jln., atau Jl. dalam Penulisan Surat

Kalimat Efektif itu Kayak Apa sih?

Lembar Kerja Peserta Didik Teks Cerita Sejarah