Lembar Kerja Peserta Didik Teks Cerita Sejarah
Lembar Kerja Peserta Didik
(LKPD)
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Materi : Teks Cerita Sejarah
Kelas/Peminatan : XII Bahasa
Semester : Ganjil
A. Petunjuk Belajar
1.
Cermati
materi Teks Cerita Sejarah yang telah
disediakan pada petemuan kali ini.
2.
Kerjakan
LKPD ini sesuai waktu yang sudah ditentukan.
3. Jika ada hal-hal yang belum atau tidak diketahui segera tanyakan kepada guru.
B. Kompetensi Dasar
3.4 Menganalisis kebahasaan cerita atau novel
sejarah
4.4 Menulis cerita sejarah pribadi dengan memerhatikan kebahasaan
C. Indikator
3.4.1
Mengidentifikasi isi cerita atau novel sejarah
3.4.2
Menganalisis struktur teks cerita atau novel sejarah
3.4.3
Menganalisis kebahasaan cerita atau novel sejarah
4.4.1
Menyusun kerangka cerpen atau novel sejarah berdasarkan peristiwa sejarah
4.4.2 Mengembangkan kerangka menjadi
cerpen atau novel sejarah
D. Soal
Tugas 1
Baca
dan amati dengan saksama kutipan cerpen Selamat Tinggal Hindia karya M. Iksaka
Banu
Selamat Tinggal Hindia oleh Iksaka Bayu
Chevrolet
tua yang kutumpangi semakin melambat, sebelum akhirnya berhenti di muka
barikade bambu yang dipasang melintang di ujung jalan Noordwijk. Sebentar
kemudian, seperti sebuah mimpi buruk, dari sebelah kiri bangunan muncul
beberapa orang pria berambut panjang dengan ikat kepala merah putih dan aneka
seragam lusuh, menodongkan senapan.
“Laskar,” gumam Dullah, supirku.
“Pastikan mereka melihat tanda
pengenal wartawan itu,” bisikku.
Dullah menunjuk kertas di kaca depan
mobil. Salah seorang penghadang melongok melalui jendela.
“Ke mana?” tanya orang itu. Ia berpeci
hitam. Kumisnya lebat, membelah wajah. Sepasang matanya menebar ancaman.
“Merdeka, Pak! Ke Gunung Sahari. Ini
wartawan. Orang baik,” Dullah, dengan raut muka dibuat setenang mungkin,
mengarahkan ibu jarinya kepadaku.
“Turun dulu baru bicara, sontoloyo!” bentak
si kumis sambil memukul bagian depan mobil. “Suruh Londo itu turun juga!”
sambungnya.
Tergesa, Dullah dan aku menuruti
perintahnya. Dibantu beberapa rekannya, si kumis menggeledah seluruh tubuh
kami. Sebungkus rokok Davros yang baru kunikmati sebatang segera berpindah ke
saku bajunya. Demikian pula beberapa lembar uang militer Jepang di dalam
dompet. Seorang laskar lain masuk ke dalam mobil, memeriksa laci, lalu duduk di
kursi sopir. Memutar-mutar roda kemudi seperti seorang anak kecil.
“Martinus Witkerk. De Telegraaf,” si
kumis membaca surat tugas, lantas menoleh kepadaku. “Belanda?”
“Tidak bisa bahasa Melayu, asli dari
sana,” sergah Dullah. Tentu saja ia berdusta.
“Aku tanya dia, bukan kamu. Sompret!” si
komandan menampar pipi Dullah. “Teman-temanmu mati kena peluru, kamu ikut
penjajah. Sana, minggat!” ia mengembalikan dompetku sambil menikmati rokok
rampasannya.
“Terima kasih, Dullah,” kataku
beberapa saat setelah kendaraan kembali melaju. “Kamu baik-baik saja?”
“Tak apa, Tuan. Begitulah sebagian
dari mereka. Mengaku pejuang, tapi masuk-keluar rumah penduduk, minta makanan
atau uang. Sering juga mengganggu perempuan,” sahut Dullah. “Untung saya yang
mengemudi. Bila Tuan Schurck yang pegang, saya rasa tuan berdua tidak
akan selamat. Mereka suka menghabisi orang Eropa yang mudah marah seperti Tuan
Schurck. Tidak peduli wartawan.”
“Jan Schurck memang pandai
membahayakan diri,” aku tersenyum. “Itu sebabnya majalah Life memberinya
gaji tinggi.”
“Tuan yakin alamat si nona ini?”
“Ya, seberang Topografisch Bureau.
Tidak mau pergi dari situ. Si kepala batu.”
Kepala batu. Maria Geertruida
Welwillend.
Geertje! Ya, itu nama sebutannya.
Aku bertemu wanita itu di kamp
internir Struiswijk, tak lama setelah pengumuman resmi takluknya Jepang kepada
Sekutu.
Waktu itu di hotel Des Indes, yang
sudah kembali ditangani oleh manajemen Belanda, aku dan beberapa rekan wartawan
tengah membahas dampak sosial di Hindia seiring kekalahan Jepang.
“Proklamasi kemerdekaan serta
lumpuhnya otoritas setempat membuat para pemuda pribumi kehilangan batas logika
antara ‘berjuang’ dan ‘bertindak jahat’. Rasa benci turun-temurun terhadap
orang kulit putih serta mereka yang dianggap kolaborator tiba-tiba seperti
menemukan pelampiasannya di jalan-jalan lengang, di permukiman orang Eropa yang
berbatasan langsung dengan kampung pribumi,” Jan Schurck melemparkan seonggok
foto ke atas meja.
“God
Almachtig. Mayat-mayat ini seperti daging giling,” Hermanus
Schrijven dari Utrechts
Nieuwsblad membuat tanda salib setelah mengamati foto-foto
itu. “Kabarnya, para jagal ini adalah jawara atau perampok yang direkrut
menjadi tentara. Sebagian rampasan dibagikan kepada penduduk. Tapi kerap pula
diambil sendiri.”
“Bandit patriot,” Jan mengangkat bahu.
“Terjadi pula semasa Revolusi Prancis, Revoulsi Bolshevik, dan di antara para
partisan Yugoslavia hari ini.”
“Anak-anak haram revolusi,” aku
menimpali.
“Aku benci perang,” Hermanus membuang
puntung rokoknya
“Warga Eropa tidak menyadari bahaya
itu,” kataku. “Setelah lama menderita di kamp, tak ada lagi yang mereka
inginkan kecuali selekasnya pulang. Mereka tak tahu, Si Jongos dan Si Kacung
telah berubah menjadi pejuang.”
“Kurasa banyak yang tidak mendengar maklumat
dari Lord Mounbatten agar tetap tinggal di kamp sampai pasukan Sekutu datang,”
Eddy Taylor, dari The
Manchester Guardian, angkat bicara.
“Ya. Dan para komandan Jepang, yang
sudah tidak memiliki semangat hidup sejak kekalahan mereka, cenderung membiarkan
tawanannya minggat. Ini mengkhawatirkan,” Jan menyulut rokok, entah yang ke
berapa.
“Bisa lebih buruk. Tanggal 15
September kemarin, pasukan Inggris tiba di Teluk Batavia,” aku menujuk peta di
meja. “Sebuah cruiser Belanda
yang menyertai pendaratan itu konon telah memicu keresahan kalangan militan di
sini. Bagi mereka, hal itu seperti menguatkan dugaan bahwa Belanda akan kembali
masuk Hindia.”
“Well,
ini di antara kita saja. Menurut kalian, apakah Belanda berniat kembali?” Eddy
Taylor menatap Jan dan aku, ganti-berganti.
Mendadak pembicaraan terpotong
teriakan Andrew Waller, wartawan Sydney Morning Herald, yang setia memantau
perkembangan situasi melalui radio: “Menarik! Ini menarik! Para mantan tentara
KNIL dan tentara Inggris pagi ini memindahkan para penghuni kamp Cideng dan
Struiswijk.”
Tanpa membuang waktu, kami semua
berangkat pergi. Aku dan Jan memilih mengunjungi Kamp Tawanan Struiswijk.
Mayor Adachi, komandan Jepang yang
kami temui, menyambut gembira upaya pemindahan massal ini.
“Patroli kami kerap menjumpai mayat
orang Eropa yang melarikan diri dari kamp. Tercincang dalam karung di
tepi jalan,” katanya.
Aku mengangguk sembari mencatat.
Tetapi sesungguhnya mataku terpaku pada Geertje yang berjalan santai menenteng
koper. Bukan menuju rombongan truk, melainkan ke jalan Drukkerijweg, bersiap
memilih becak.
“Hei, Martin!” teriak Jan Schruck.
“Gadis itu melirikmu sejak tadi. Jangan tolak keberuntunganmu. Kejar!”
Aku memang mengejarnya, tetapi segera
menerima kejutan besar.
“Aku tidak ikut,” Geertje menatapku
tajam. “Truk-truk ini menuju Bandung. Ke tempat penampungan di Kapel Ursulin.
Sebagian lagi ke Tanjung Priok. Aku harus pulang ke Gunung Sahari. Banyak yang
harus kukerjakan,” katanya.
“Maksudmu, sebelum Jepang datang,
engkau tinggal di Gunung Sahari, dan sekarang hendak kembali ke sana?” tanyaku.
“Ada yang salah?” Geertje balik
bertanya.
“Ya. Salah waktu dan tempat.
Pembunuhan terhadap orang kulit putih, Tionghoa, dan orang-orang yang dianggap
kolaborator Belanda semakin menjadi. Mengapa ke sana?”
“Karena itu rumahku. Permisi,” Geertje
membalikkan badan, menenteng kembali kopernya.
Aku tertegun. Dari jauh kulihat si
keparat Jan menjungkirkan ibu jarinya ke bawah.
“Tunggu!” aku mengejar Geertje. “Biar
kuantar.”
Kali ini Geertje tak menolak. Dan aku
bersyukur, Jan bersedia meminjamkan motornya.
“Hati-hati sinyo satu ini, Nyonya,”
Jan mengedipkan mata. “Di Nederland banyak wanita merana menunggu
kedatangannya.”
“Begitukah? Panggil ‘nona’, atau sebut
namaku saja,” sahut Geertje.
“Oh, kalau begitu panggil aku Jan.”
“Dan ini Martin,” aku menebah dada.
“Apakah kau tak ingin membuang bakiak kamp itu?” tanyaku sambil melirik kaki
Geertje. ”Bukankah para tentara di sana menyediakan sepatu untuk wanita dan
anak-anak? Mereka juga membagikan gincu dan bedak. Kalian akan kembali
rupawan.”
“Belum terbiasa bersepatu lagi, jadi
kusimpan di koper. Di kamp, aku mahir berlari dengan bakiak,” Geertje tertawa,
meletakkan tubuhnya di jok belakang.
Mijn God. Tawa renyah dan lesung pipinya.
Betapa ganjil berpadu dengan sepasang alis curam itu. Wajah yang sarat
teka-teki. Apakah wanita ini masih memiliki keluarga? Suami? Tapi tadi ia minta
dipanggil ‘nona’.
“Gunung Sahari sering dilewati
Batalyon 10. Mereka menjaga permukiman Eropa. Tetapi tentu saja tak ada yang
tahu, kapan serangan datang. Coba pikirkan usulku tadi,” dari kaca spion,
kutengok Geertje. Ia tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi suara motor Jan
teramat bising. Akhirnya kami membisu saja sepanjang perjalanan.
Di perempatan Kwitang aku meliuk ke
kanan, meninggalkan iringan truk berisi wanita dan anak-anak di belakangku. Ah,
anak-anak itu. Riuh bertepuk tangan, menyanyikan lagu-lagu gembira. Tidak
menyadari bahwa kemungkinan besar tanah Hindia, tempat mereka lahir, sebentar
lagi tinggal kenangan.
“Depan empang itu,” Geertje melambai.
Aku membelokkan sepeda motor. Rumah
besar itu terlihat menyedihkan. Dindingnya kotor. Kaca jendela pecah di sana-sini.
Anehnya, rumput pekarangan tampak seperti belum lama dipangkas.
“Sebentar!” kuraih lengan Geertje saat
ia ingin berlari ke teras. Dari tas di belakang motor, kukeluarkan belati
yang tadi dipinjamkan oleh Jan. Kudorong pintu depan. Terkunci.
“Masih ingin masuk?” tanyaku.
“Ya,” jawab Geertje. “Singkirkan
belatimu. Biar aku yang mengetuk. Semoga rumah ini belum diambil alih keluarga
Eropa lain.”
“Atau oleh laskar,” sahutku.
Geertje mengetuk beberapa kali. Tak
ada jawaban. Kami berputar ke belakang. Pintunya terbuka sedikit. Saat hendak
masuk, terdengar langkah kaki dari kebun. Seorang wanita pribumi. Mungkin
berusia lima puluh tahun.
“Nona!” wanita itu meraung, memeluk
kaki Geertje.
Geertje menarik bahu si wanita agar
berdiri.
“Jepang sudah kalah. Aku pulang, Iyah.
Mana suamimu? Apakah selama ini engkau tinggal di sini?” tanya Geertje. “Ini
Tuan Witkerk, teman saya. Martin, ini Iyah. Pengurus rumah tangga kami.”
Iyah membungkuk kepadaku, lalu kembali
menoleh kepada Geertje.
“Setelah terakhir menengok Nona, rumah
ini diambil Jepang. Tempat tinggal para perwira. Saya memasak untuk mereka.
Tidak boleh pergi. Itulah sebabnya saya tidak bisa menengok Nona,” Iyah kembali
terisak. “Mana Tuan, Ibu, dan Sinyo Robert?”
“Mama meninggal bulan lalu. Kolera,”
Geertje mendorong pintu lebih lebar, lalu masuk rumah. Aku dan Iyah menyusul.
“Papa dan Robert dikirim ke Burma. Sudah kuminta komandan kamp mencari berita
tentang mereka,” lanjut Geertje.
“Barang berharga disita. Foto-foto di
dinding musnah. Diganti bendera Jepang. Tapi belum lama ini mereka buru-buru
pergi. Entah ke mana. Banyak barang tidak dibawa,” kata Iyah. “Saya ambil
alat-alat masak dulu di gubuk. Sekalian ajak suami ke sini. Sejak jadi koki
Jepang, saya pindah ke gubuk belakang. Setelah mereka pergi, saya tetap tidak
berani tinggal di sini. Tapi setiap ada kesempatan, pasti menengok,
membersihkan yang perlu.”
“Ajak suamimu. Kita bangun rumah ini.
Kalau bank sudah berjalan normal, mungkin aku bisa mengambil sedikit simpanan,”
Geertje membiarkan Iyah berlari ke luar, lalu meneruskan memeriksa rumah.
Meja-kursi tersisa beberapa, juga lemari. Tetapi tak ada isinya. Sebuah kejutan
kami temukan di ruang keluarga: piano hitam yang anggun. Cukup mengherankan,
Jepang tidak menyita atau merusaknya. Mungkin dulu dipakai sebagai hiburan.
Geertje meniup debu tipis, membuka
penutup tuts. Sepotong irama riang menjelajahi ruangan.
“Lagu rakyat?” tanyaku.
“Si Patoka’an,” Geertje mengangguk,
lalu bersenandung menimpali ketukan tuts.
“Engkau menyatu dengan alam dan
penduduk di sini. Mereka juga menyukaimu. Mungkin mencintaimu setulus hati,”
kataku. “Tapi zaman ‘tuan’ dan ‘babu’ ini akan segera berakhir. Amerika semakin
memperlihatkan ketidaksukaan mereka akan kolonialisme. Dunia luar juga mulai
mengawasi setiap denyut perubahan yang terjadi di sini. Dan kehadiran kita
selama beberapa ratus tahun sebagai penguasa negeri ini, bahkan makan jantung
negeri ini, semakin memperburuk posisi tawar kita. Kurasa Hindia Belanda tak
mungkin kembali, sekeras apapun upaya kita merebut dari tangan para nasionalis
bumiputra ini.”
“Bila api revolusi telah berkobar, tak
ada yang bisa menahan,” Geertje menghentikan laju jemarinya di atas tuts.
“Mereka hanya ingin mandiri, seperti kata ayahku dulu. Ayah pengagum Sneevlit.
Ia siap kehilangan hak-hak istimewanya di sini. Aku sendiri seorang guru
sekolah bumiputra. Lahir, besar di tengah para bumiputra. Saat Jepang berkuasa,
kusadari bahwa Hindia Belanda bersama segala keningratannya telah usai. Aku
harus berani mengucapkan selamat tinggal kepadanya. Dan apapun yang ada di
ujung nasib, aku akan tetap tinggal di sini. Bukan sebagai ‘penguasa’, seperti
istilahmu. Entah sebagai apa. Jepang telah memberi pelajaran, pahitnya menjadi
jongos atau babu. Setelah kemarin hidup makmur, bukankah memalukan lari di saat
orang-orang ini butuh bimbingan kita? ”
“Orang-orang itu…” aku tidak
meneruskan kalimat. Sunyi sesaat.
“Konon, seorang pemburu menemukan bayi
harimau,” akhirnya aku menghela napas. “Dirawatnya hewan itu penuh kasih. Ia
menjadi jinak. Makan-tidur bersama si pemburu hingga dewasa. Tak pernah diberi
daging. Suatu hari, tangan si pemburu tergores piring kaleng milik si harimau.
Darah mengucur.”
“Si harimau menjilati darah itu,
menjadi buas, lalu menerkam si pemburu,” potong Geertje. “Engkau mencoba
mengatakan bahwa suatu saat para bumiputra akan menikamku dari belakang.
Betul?”
“Kita ada di tengah pergolakan besar
dunia. Nilai-nilai bergeser. Setelah berabad, kita menyadari tanah ini bukan
Ibu Pertiwi kita,” jawabku. “Untuk ketigakalinya kuminta, pergilah selagi bisa.”
“Ke Belanda?” Geertje menurunkan tutup
piano. “Aku bahkan tak tahu, di mana letak negara nenek moyangku itu.”
“Di kampung halamanku, di Zundert, ada
beberapa rumah kontrakan dengan harga terjangkau. Sambil menunggu kabar tentang
ayahmu, kau bisa tinggal di sana.”
“Terima kasih,“ Geertje tersenyum.
“Kau sudah tahu di mana aku ingin tinggal.”
Itu jawaban Geertje beberapa bulan
lalu. Sempat dua kali aku menemuinya kembali. Memasang kaca jendela, dan
mengantarnya ke pasar. Setelah itu, aku tenggelam dalam pekerjaan. Geertje juga
tak memikirkan hal lain kecuali membangun rumah. Sulit mengharapkan percik
asmara hadir di antara kami.
Lalu datanglah berita tentang
pertempuran keras tadi malam, yang merambat dari Meester Cornelis sampai ke
Kramat. Beberapa kesatuan pemuda melancarkan serangan besar-besaran ke pelbagai
wilayah secara rapi dan terencana. Di sekitar Senen – Gunung Sahari, sebuah
tank NICA bahkan berhasil dlumpuhkan.
Aku mengkhawatirkan Geertje. Sebaiknya
wanita itu kujemput saja. Biarlah ia tinggal bersama kami sementara waktu.
Semoga ia tidak menolak. Schurck sedang ke luar kota. Tak bisa meminjam
motornya. Untunglah, meski agak mahal, pihak hotel bersedia menyewakan mobil
berikut sopirnya.
“Di depan itu, Tuan?” suara Dullah
membawa diriku kembali berada di dalam kabin Chevrolet yang panas ini.
“Betul. Tunggu sini,” aku melompat ke
luar dengan cemas. Di muka rumah Geertje, beberapa tentara NICA berdiri dalam
posisi siaga. Sebagian hilir-mudik di halaman belakang. Beranda rumah rusak.
Pintu depan roboh, penuh lubang peluru. Lantai dan tembok pecah, menghitam,
bekas ledakan granat.
“Permisi, wartawan!” sambil menerobos
kerumunan, kuacungkan kartu pengenal. Mataku nyalang. Kumasuki setiap kamar
dengan perasaan teraduk, seolah berharap melihat tubuh Geertje tergolek mandi
darah di lantai. Tetapi tak kunjung kutemui pemandangan mengerikan semacam itu.
Seorang tentara mendekat. Agaknya komandan mereka. Kusodorkan kartu pengenal.
“Apa yang terjadi, Sersan…Zwart?”
tanyaku sambil melirik nama dada tentara itu. “Korban serangan tadi malam? Di
mana penghuni rumah?”
“Kami yang menyerang. Penghuninya lari.
Tuan seorang wartawan? Kebetulan sekali. Kita sebarkan berita ini, agar semua
waspada,” Sersan Zwart mengajak berjalan ke arah dapur. “Ini tempat para
pemberontak berkumpul. Banyak bahan propaganda anti NICA,” lanjutnya.
“Maaf,” aku menyela. “Setahuku rumah
ini milik Nona Geertje, seorang warga Belanda.”
“Tuan kenal? Kami akan banyak bertanya
nanti. Ada dugaan bahwa Nona Geertje alias ‘Zamrud Khatulistiwa’ alias ‘Ibu
Pertiwi’, yaitu nama-nama yang sering kami tangkap dalam siaran radio gelap
belakangan ini, telah berpindah haluan.”
Geertje? Aku ternganga, siap protes.
namun Sersan Zwart terlalu sibuk menarik pintu besar yang terletak di tanah,
dekat gudang. Sebuah bunker.
Luput dari perhatianku saat mengunjungi Geertje tempo hari. Kuikuti Sersan
menuruni tangga.
Tak ada yang aneh. Warga Belanda yang
sejahtera biasanya memiliki ruangan semacam ini. Tempat berlindung saat terjadi
serangan udara di awal perang kemarin. Sebuah ruangan lembab, kira-kira empat
meter persegi. Ada meja panjang, kursi, serta lemari usang berisi peralatan
makan dan tumpukan kertas. Benar, kertas itu berisi propaganda anti NICA.
Sersan Zwart membuka kain selubung
sebuah obyek di balik lemari. Pemancar radio!
“Warisan Jepang,” kata Sersan.
Aku membisu. Sulit mempercayai ini
semua. Tetapi yang membuat tubuhku membeku sesungguhnya adalah pemandangan di
dinding sebelah kiri. Pada dinding lapuk itu, tergantung satu set wastafel
lengkap dengan cermin. Di atas permukaan cermin, tampak sederetan tulisan.
Digores bergegas, menggunakan pemerah bibir: ‘Selamat tinggal Hindia Belanda.
Selamat datang Repoeblik Indonesia’.
Aku membayangkan Geertje dan lesung
pipinya, duduk di tengah hamparan sawah, bernyanyi bersama orang-orang yang ia
cintai: “Ini tanahku. Ini rumahku. Apapun yang ada di ujung nasib, aku tetap
tinggal di sini.”
Sejak awal Geertje tahu di mana harus
berpijak. Perlahan-lahan kuhapus kata ‘pengkhianat’ yang tadi sempat hinggap di
benak.
Jakarta, 12 Oktober 2012
Setelah
membaca kutipan cerita di atas, jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut!
1. Kapankah latar waktu
cerita dalam kutipan cerpen sejarah di atas dibuat?
2. Di manakah latar dalam
kutipan cerita sejarah tersebut dibuat?
3. Peristiwa apa sajakah
yang dikisahkan?
4. Siapa sajakah tokoh yang
terlibat dalam penceritaan?
5. Di bagian apa saja dalam
kutipan yang menandakan bahwa cerita tersebut tergolong ke dalam novel sejarah?
Komentar
Posting Komentar