Dato Karama, Juru Syiar yang Keramat
Dato Karama adalah tokoh tercatat sebagai orang pertama yang membawa Islam masuk ke Sulawesi Tengah, tepatnya di kota Palu. Nama aslinya adalah Abdullah Raqiy. Beliau biasa dipanggil dengan sebutan Dato Karama. Kehadiran Islam di Sulawesi Tengah dibawa oleh Dato Karama pada abad ke-17. Masuknya Islam melalui cerita-cerita mitologis di Sulawesi Tengah dilakukan oleh Dato Karama, seorang penyiar Islam dari Minangkabau.
Menurut riwayat, ketika itu datang sejumlah rombongan yang terdiri dari kurang lebih 50 orang. Rombongan itu dipimpin oleh Abdullah Raqiy atau Dato Karama. Begitu berlabuh di Teluk Palu, rombongan itu turun di sebuah tempat yang dikenal dengan nama Karampe (artinya terdampar). Bersama rombongan itu, ikut pula istri dari Dato Karama yang bernama Ince Jille, anaknya Ince Dangko, juga iparnya bernama Ince Saharibanong. Tidak hanya itu, Dato Karama beserta rombongan juga membawa serta perlengkapan adat kebesaran dari tanah Minangkabau, di antaranya bendera kuning, panji orang-orangan, Gong, Kakula, Puade, Bulo, Jijiri.
Sewaktu perahu yang membawa mereka memasuki Teluk Palu terdengar lantunan bunyi-bunyian dari alat musik tradisional. Di saat bersamaan, arus laut yang kuat membuat perahu Dato Karama beserta rombongan terdampar di pantai. Saat terdampar itulah, perahu yang mereka tumpangi pecah dan berubah menjadi seperti tikar yang membentang. Sedangkan layar perahu sendiri berubah menjadi perkemahan.
Abdullah Raqiy dikenal sebagai orang keramat. Selain karena peristiwa kedatangannya di Lembah Palu dianggap tidak biasa, Ia juga berhasil membawa pengaruh ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat Palu. Masyarkat akhirnya bersedia memeluk agama Islam padahal ketika itu sebagian besar masyarakat masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Peristiwa tersebut dipercayai oleh sebagian besar masyarakat sebagai kejadian keramat.
Tidak hanya itu, beliau juga dikenal karena memiliki kesaktian yang tinggi. Suatu ketika terjadi gelombang tinggi yang menerjang daerah Palu. Tinggi gelombang tersebut seperti pohon kelapa pada umumnya. Tapi dengan kesaktian yang dimilikinya, Dato Karama berhasil menghalau gelombang tersebut dengan sorbannya. Atas alasan itulah mengapa ia kemudian dipanggil dengan sebutan Dato Karama atau orang yang keramat.
Kedatangan Dato Karama ke Palu terjadi karena adanya perselisihan di kalangan keluarganya. Hal itu lalu menuntun dia untuk meninggalkan negerinya sendiri untuk selama-lamanya. Ketika berlabuh dan memutuskan untuk bedakwah di tanah Kaili, Dato Karama menanamkan sikap toleransi dengan penduduk setempat. Bahkan Dato Karama menjalin kedakatan dengan raja-raja dan orang-orang terkemuka pada saat itu. Hal tersebut lantas memunculkan rasa simpati yang teramat dalam kepada Dato Karama.
Sebagai wujud memperkuat ikatan persaudaraan dengan para raja, Dato Karama mempersembahkan segala perlengkapan adat kebesaran yang dibawanya dari Minangkabau untuk diserahkan kepada raja ketika itu. Saat itu, kawasan teluk dan Lembah Palu merupakan kampung-kampung kecil yang dipimpin oleh kepala suku. Sering terjadi peperangan antarsuku dan kampung. Terjadinya perang antarkampung seperti ini menyebabkan beberapa kampung membuat persekutuan untuk menghadapi musuh dari kampung lain.
Masyarakat asli di Sulawesi Tengah ketika itu masih kental dengan sistem kepercayaan animisme dan dinamisme. Pemujaan terhadap roh diyakini membantu dan memudahkan segala urusan manusia. Tidak hanya itu, kepercayaan terhadap roh juga dipercaya dapat mendatangkan sial dan mencelakai seseorang. Kepercayaan itu akhirnya menjadi patokan dalam mengatur sikap, tingkah laku, dan hal-hal lainnya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat setempat.
Masyarakat juga percaya bahwa kekuatan arwah dapat memberi kesembuhan atas sebuah penyakit. Masyarakat menilai bahwa penyakit yang diderita oleh seseorang dapat disembuhkan dengan mengadakan suatu ritual khusus dengan penyembahan, permohonan, dan perlindungan kepada kekuatan gaib.
Kedatangan Dato Karama ke Lembah Palu ketika masa animisme dan dinamisme masih kental bukan menjadi halangan bagi usaha dakwahnya. Justru kehadirannya membawa dampak yang sangat besar terutama dalam mengubah pola pikir masyarakat setempat dalam hal keagamaan. Pengaruh awal yang disampaikan oleh Dato Karama saat mengajarkan agama Islam adalah cara berpakaian.
Pada saat itu, masyarakat asli suku Kaili menggunakan pakaian yang tebuat dari kulit kayu. Melalui ajaran Islam yang universal, Dato Karama sedikit demi sedikit mengubah kebiasaan berpakaian masyarakat Kaili menjadi lebih baik dibanding sebelumnya. Hal itu lantas mengundang cara berpikir masyarakat sehingga perlahan-lahan ajaran Islam mulai diterima.
Tidak hanya masyarakat yang mulai menerima kehadiran Dato Karama. Seorang raja dari Palu bernama Pue Njidi pun turut menyambut baik keberadaan sang juru dakwah di negerinya. Bahkan tidak lama setelah itu, Pue Njidi pun memutuskan untuk masuk Islam. Tidak sampai di situ saja, seorang pemimpin Kabonena, salah satu pemimpin kampung di daerah Palu ketika itu, bernama Pue Bongo pun akhirnya memeluk agama Islam dengan kerelaan hatinya. Setelah peristiwa tersebut, masyarakat Kaili yang mendiami Palu pun menerima kehadiran Islam dengan jalan yang damai tanpa paksaan.
Berkat usaha Dato Karama dalam mengislamkan pemimpin-pemimpin negeri yang ada di daerah Palu ketika itu, ternyata membawa perubahan yang sangat besar dalam kehidupan masyarakatnya. Perubahan itu terutama dalam sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Sulawesi Tengah. Masyarakat yang dulunya percaya akan kekuatan gaib sebagai pembawa berkah, keselamatan, dan kesembuhan. Pada akhirnya, masyarakat Kaili percaya bahwa Islam adalah pedoman dalam kehidupan. Islam akhirnya diterima menjadi tuntunan agama bagi masyarakat Lembah Palu.
Setelah berjuang sekian lama mengembangkan ajaran Islam di Palu, Dato Karama pun wafat. Tidak diketahui dengan pasti tahun meninggalnya Dato Karama. Ia dimakamkan di daerah Kampung Lere. Makam Dato Karama ini juga menjadi kompleks pemakaman keluarganya. Dalam kompleks tersebut terdapat makam istrinya, ipar, serta putranya. Selain itu, ada juga makam para pengikutnya yang jumlahnya tidak sedikit.
Kepergian Dato Karama menjadi kehilangan besar bagi masyarakat Lembah Palu. Akan tetapi ajaran Islam yang telah dikembangkannya tetap bertahan hingga sekarang. Dato Karama tidak hanya mewariskan ajaran Islam semata. Banyak nilai-nilai kehidupan yang ditinggalkannya justru melekat kuat dalam diri dan kehidupan sosial masyarakat yang hidup di Sulawesi Tengah. Beliaulah sosok yang berperan amat besar dalam membawa dan menanamkan nilai-nilai Islam di wilayah Lembah Palu.
Seperti itulah kisah hidup dari Abdullah Raqiy, penyiar Islam yang keramat di Lembah Palu. Orang yang dikenal sebagai pembawa Islam pertama di Sulawesi Tengah. Setelah wafat, jasad Dato Karama dimakamkan di Kampung Lere, Palu (Kota Palu sekarang). Makam Syekh Abdullah Raqie atau Dato Karama kemudian hari menjadi Kompleks Makam Dato Karama dan berisi makam istrinya yang bernama Intje Dille dan dua orang anaknya yang bernama Intje Dongko dan Intje Saribanu serta makam para pengikut setianya yang terdiri dari 9 makam laki-laki, 11 makam wanita, serta 2 makam yang tidak ada keterangan di batu nisannya.
Pada hari-hari tertentu, makam Dato Karama selalu ramai dikunjungi oleh peziarah. Orang-orang yang berziarah pada umumnya berasal dari Kota Palu, tetapi ada juga yang datang dari luar kota seperti Donggala, Parigi, dan lain sebagainya. Bahkan ada yang rela dating dari luar kota hanya untuk berziarah di makam Dato Karama.
Tujuan para peziarah berbeda-beda. Pada umumnya mereka bermaksud berziarah semata. Hal ini tak lain karena makam Dato Karama dianggap sakral. Tetapi sekarang ini, kompleks makam sudah dijadikan sebagai objek wisata religi sehingga orang dari manapun bebas masuk dan berkunjung.
Jasa Dato Karama bagi masyarakat kota Palu sangatlah besar terutama dalam perkembangan ajaran Islam. Tapi sayangnya sejarah tentang sosok beliau sudah mulai dilupakan oleh orang saat ini, terutama di kalangan remaja. Sekarang ini generasi muda acuh tak acuh terhadap sejarah yang ada di daerahnya. Banyak hal yang dapat dipelajari dari peristiwa sejarah yang pernah terjadi. Tapi justru sejarah-sejarah tersebut selalu dilupakan.
Komentar
Posting Komentar