Guru Tua, Mercusuar Ilmu di Lembah Palu

    Sang Penerang di Tanah Kaili - Media Alkhairaat

Habib Idrus bin Salim Aldjufrie atau Guru Tua (Sumber: Media Alkhairaat)

Sayyid Idrus bin Salim Aljufrie dikenal sebagai ulama besar. Oleh masyarakat Sulawesi Tengah sering dipanggil dengan sebutan “Guru Tua.” Sebutan itu merupakan gelar kehormatan kepada beliau karena jasa-jasanya untuk kepentingan agama, bangsa, dan negara, khususnya di wilayah Sulawesi Tengah. Beliau juga sering disebut dengan Sis Aljufrie, singkatan dari Sayyid Idrus bin Salim Aljufrie. 

Guru Tua dilahirkan di Taris, sebuah kota kecil dekat Hadramaut, Yaman Selatan pada 14 Sya’ban 1309 H atau tahun 1889 M. Sis Aljufrie berasal dari kalangan bangsawan Arab di Yaman dengan garis keturunan langsung dari Ali bin Abi Thalib r.a., keponakan sekaligus menantu Nabi Muhammad SAW. Ayahnya bernama Salim bin Alawy, seorang mufti di Taris. Gelar mufti diberikan karena ayah dari Sayyid Idrus bin Salim Aljufrie ahli dalam bidang keagamaan dan pemerintahan. Sementara itu, ibunya bernama Nur. Sang ibun sendiri memiliki hubungan kekerabatan dengan Aru’ Matoa (raja yang dituakan) di Wajo, Sengkang Sulawesi Selatan. 

Sejak kecil, Guru Tua selalu dididik dengan nilai-nilai keislaman yang kuat. Pengetahuan tentang Islam didapatkan langsung dari ayahnya. Selain dengan ayahnya, Sis Aljufrie juga menimba ilmu dari beberapa ulama besar tanah Arab, seperti Sayyid Muhsin bin Alwi As-Saggaf, Abdurrahman bin Ali bin Umar As-Saggaf, Muhammad bin Ibrahim Balfagih, Abdullah bin Husain Saleh Albahr, dan Idrus bin Umar Al-Habsyi. 

Semenjak kecil, Sis Aljufrie dikenal sebagai anak yang haus akan ilmu. Setiap waktunya digunakan untuk belajar. Bahkan di manapun berada, Sis Aljufrie selalu memanfaatkan waktu untuk menimba ilmu. Tak jarang waktu malam pun diisi dengan belajar ketika orang-orang justru terlelap dalam tidurnya. Karena kebiasaan itulah maka di usia muda Sis Aljufrie sudah hafal dan memahami kurang lebih dua ratus Ayatul Ahkan (landasan-landasan hukum). 

Pada umur tujuh belas tahun, Sis Aljufrie dipercaya menjadi sekretaris mufti mendamping ayahnya. Jabatan itu diembannya selama lima tahun. Setelah ayahnya meninggal dunia jabatan mufti pun berpindah kepadanya. Saat usia masih muda, Sis Aljufrie menikahi seorang gadis, putri dari Sayyid Umar Al-Balghi dan dikarunia seorang anak yang diberi nama Fatimah. 

Pernikahannya dengan puteri Sayyid Umar Al-Balghi tidak berlangsung lama. Setelah kegagalan perkawinannya, Sis Aljufrie dinikahkan lagi dengan puteri Sayyid Hasan Al-Bahr sepulangnya dari Mekkah untuk berguru. Dari pernikahan keduanya ini melahirkan tiga orang anak laki-laki, yakni Muhammad, Salim, dan Ragwan. 

Kedatangannya di Indonesia terjadi pada tahun 1925. Kepindahannya ke Indonesia pada saat itu tidak terlepas dari adanya pertentangan politik yang terjadi di Hadramaut. Batavia adalah tempat pertama persinggahan dakwah Sis Aljufrie. Ia tinggal beberapa waktu yang lama untuk mengajar di sebuah madrasah. Sis Aljufrie kemudian pindah ke Pekalongan yang menjadi tempat bermukimnya orang Arab sejak abad ke- 19. Setelah tiga tahun di Pekalongan, ia kemudian menikah dengan Syarifah Aminah, puteri dari Sayyid Tahlib Aljufrie. Dari pernikahan itu dikarunia tiga anak, yaitu Syarifah Lu’lu, Syarifah Nikmah, dan Syarifah Masytura. 

Perjalanan dakwah Sis Aljufrie telah melanglang buana seantero nusantara. Setelah dari Pekalongan, beliau lalu ke Jombang Jawa Timur. Kemudian melanjutkan perjalanannya ke Solo. Selepas tinggal beberapa lamanya di Solo, Ia lalu menuju ke Ternate, Maluku Utara dan Sulawesi Utara. Dan akhirnya berlabuh di kota Palu pada 1930. Di kota inilah Sis Aljufrie memutuskan untuk menetap dan menjadikan kota Palu dan daerah Lembah Palu sebagai ladang dakwahnya. 

Kehadiran Sis Aljufrie di kota Palu diterima oleh masyarakat setempat. Hal ini dibuktikan dengan penerimaan masyarakat setempat dengan menikahkan Sis Aljufrie dengan seorang janda bangsawan bernama Intje Aminah binti Daeng Sute, anak dari seorang bangsawan Kaili Daeng Marotja. Sebelum pernikahannya dengan Intje Aminah binti Daeng Sute, Sis Aljufrie pernah pula menikah dengan Syarifah Kalsum atas keinginan masyarakat Wani (kota kecil bagian utara Palu) ketika itu. Pernikahannya dengan Syarifah Kalsum tidak menghasilkan keturunan. 

Sis Aljufrie atau Guru Tua adalah ulama terpandang. Beliau juga sekaligus pendidik yang kharismatik. Karena sosoknya itu, ia lantas membuka sebuah madrasah di kota Palu. Maksud pendirian madrasah ini tak lain sebagai bentuk syiar dan dakwah Islam kepada masyarakat setempat. Madrasah yang dibangun oleh Sis Aljufrie diberi nama Alkhairaat. Kata Alkhairaat merupakan pilihan langsung dari Guru Tua. Alkhairaat mengandung makna sebuah kata yang penuh berkah atau mubarak. 

Melalui Alkhairaat, segenap umat Islam memperoleh kebaikan, kutamaan, kemuliaan, ridho, hidayah, dan ilmu yang bersumber dari Islam. Kehadiran Alkhairaat di Palu merupakan sumbangan terbesar Sis Aljufrie dalam hidupnya. Melalui Alkhairaat pancaran ilmu dan nilai keislaman menyebar luas dari Lembah Palu, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan, bahkan daerah Indonesia Timur lainnya. Tercatat ribuan madrasah telah lahir berkat usaha dan jerih payah Sis Aljufrie dalam berjuang di jalan pendidikan dan syiar. Madrasah-madrasah tersebut tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia Timur. 

Sebagai pendiri Alkhairaat, Sis Aljufrie terus mengabdikan hidupnya untuk kemajuan pendidikan dan Islam di kota Palu. Bahkan hingga akhir hayatnya, Sis Aljufrie banyak sekali memberi sumbangan pemikiran, tidak hanya untuk perguruan Alkhairaat tapi juga untuk kemajuan daerah, kota Palu khususnya dan Sulawesi Tengah pada umumnya. Sis Aljufrie kemudian wafat pada tanggal 22 Desember 1969 M atau 12 Syawal 1389 H.

Sepanjang hidupnya, Guru Tua dipandang sebagai ulama yang kharismatik. Hal itu disebabkan Guru Tua memiliki gaya dakwah yang sangat halus dan simpatik. Dakwah beliau tidak hanya menyentuh masyarakat perkotaan tetapi juga masuk hingga ke pelosok daerah. Tak jarang perjalanan ke daerah terpencil ditempuh dengan berjalan kaki, naik kuda, gerobak, dan sampan kecil. Itu semua dilakukan untuk memberikan pencerahan akidah Islam dan bimbingan masalah keislaman kepada umat yang membutuhkan.

Sis Aljufrie meninggalkan warisan yang besar bagi kita semua, yakni Taman Pendidikan Alkhairaat. Cita-cita besar sang ulama akhirnya terukir dalam taman pendidikan yang besar. Kini taman pendidikan tersebut menjadi lembaga pendidikan yang maju dan terbesar di kawasan Indonesia Timur. 

Oleh masyarakat setempat, Guru Tua diyakini sebagai ulama besar. Sang ulama besar itu telah menanamkan pengaruh yang besar dalam diri pengikutnya. Sumbangsihnya dalam kemajuan pendidikan di kota Palu dan sekitarnya begitu membekas hingga saat ini. Ulama besar itu ibarat mercusuar ilmu di Lembah Palu.

Untuk mengenang jasa Guru Tua, masyarakat mengusulkan agar nama Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufrie dijadikan sebagai nama baru bandara Kota Palu dan Provinsi Sulawesi Tengah. Akhirnya pada 28 Februari 2014, Menteri Perhubungan ketika itu, E.E Mangindaan menandatangani surat keputusan perubahan nama dari Bandara Mutiara menjadi Bandara Mutiara Sis Al-Jufrie.

Selain itu, sosok Guru Tua pun oleh masyarakat Kaili, Walikota Palu, Gubernur Sulawesi Tengah juga mengusulkan agar diangkat menjadi Pahlawan Nasional.  Begitu besar harapan masyarakat Kaili agar beliau memperoleh gelar sebagai Pahlawan Nasional. Akan tetapi, karena status kewarganegaraan Guru Tua yang bukan orang Indonesia asli membuat beliau tidak dapat diangkat sebagai Pahlawan Nasional. 

Akhirnya berdasarkan Keppres No.53/TK/2010, pemerintah memberikan penghargaan kepada Guru Tua berupa Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Adipradana. Penghargaan itu merupakan tanda kehormatan tertinggi setelah tanda kehormatan Bintang Republik Indonesia yang dapat diberikan kepada warga negara Indonesia atau warga negara asing yang memenuhi persyaratan.

Salah satu seri tulisan dari buku Mutiara Islam di Negeri Khatulistiwa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penggunaan Jalan, Jln., atau Jl. dalam Penulisan Surat

Soal Artikel, Kritik, dan Esai

Puisi Esai, Genre Baru dalam Kesusastraan Indonesia